Powered By Blogger

Pages

Senin, 22 Maret 2010

bebas berekspresi: cerpen

bebas berekspresi: cerpen
KELUH KESAH SANG NELAYAN
Oleh : Ukon Zarkoni



Bila hari memasuki senja, para nelayan dikampungku bersiap-siap melangkahkan kakinya sambil memikul semua alat-alat dan keperluan yang dimasukkannya ke dalam box, sambil bersiul-siul ia berjalan tuk meghalau rasa pegal yang dirasakan di pundaknya.
Hiruk pikuk suara mesin perahu dan celoteh sang nelayan mewarnai pelabuhan mereka. Biru laut mereka, bersih laut mereka, indah karang mereka tak tercemari oleh tangan-tangan jahil sang pemburu.
Bila pagi tiba, sang nelayan pulang dengan membawa ikan hasil tangkapan mereka dan menjualnya untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka. Bila hari minggu di pagi hari, kami para anak-anak sang nelayan sibuk mempersiapkan diri untuk pergi memancing bersama, memancing di empang dengan membawa bekal yang telah disiapkan oleh ibu, tapi Itu dahulu kala disaat belum ada peradaban luar yang masuk ke daerah kami dan membangun pabrik-pabrik.
Modernisasi telah merambah ke daerah kami, pada awalnya para nelayan masih bertahan memperjuangkan hidup mereka dengan mencari ikan dan bertani karena daerah kami adalah daerah pesisir pantai. Kehidupan sang nelayan kini lambat laun berkurang satu per satu seiring berjalannya waktu, mereka kini adalah manusia modern yang hidup dengan bekerja di suatu perusahaan yang lebih bisa memastikan pendapatan mereka di banding dengan menjalani hidup sebagai seorang nelayan. Anak - anak mereka kini tak pernah lagi pergi memancing bersama di hari libur sekolah mereka. kenapa? Karena sudah tidak ada empang lagi, semuanya telah berganti menjadi pabrik-pabrik yang berdiri tegak menantang hidup.
Mereka para nelayan yang tersisa kini tak lagi seperti dulu yang selalu bersenandung dikala berangkat dan pulang. Laut mereka tak biru lagi, laut mereka kotor, karang mereka punah. Nelayan sekarang adalah nelayan yang selalu berkeluh kesah. Sang istri bertanya “bagaimana hasil melaut hari ini Pak?”
“kosong bu, maafkan bapak yah !” rengek sang bapak memohon maaf kepada istrinya yang bersedih.

“Kenapa yah pak, kok sekarang ini hasil melaut Bapak tidak seperti dulu?”
“limbah pabrik bu, air laut kini warnanya hitam bercampur dengan limbah dan banyak ikan yang mati membusuk ”
Sang istri menangis sambil menentramkan hati sang suami yang terbakar amarah terhadap kemajuan zaman yang tak seimbang.
Bukan hanya dilaut dan dirasakan oleh para nelayan saja, warga sekitar yang bekerja dan tidak bekerja dipabrik juga merasakan hal yang sama. Bising suara mesin pabrik telah mengganggu ketentraman hidup mereka dan terkadang bau limbah pabrik memenuhi lingkungan sekitar kami. Kini udara kami telah tercemar oleh kemajuan zaman.
Para nelayan tak bisa berbuat apap-apa selain menerima kenyataan bahwa lautnya kini sudah tak seperti dulu lagi, lingkungannya tercemar oleh limbah pabrik yang berdiri tegak di hadapan mereka.
“kita adalah orang yang kecil yang tak tau apa – apa, jadi kita jalani saja hidup kita apa adanya pak” bisikan sang istri yang berada dalam pelukan suami tercintanya.

Jumat, 19 Maret 2010

Seni& Budaya

asal mula rudat menurut para peneliti masih simpang siur, tidak jelas kesenian ini terlahir atau di ciptakan oleh siapa, dalam penjelasan lain kesenian ini semula tumbuh dan berkembang di kalangan pesantren, tapi yang pasti di setiap daerah di Indonesia khususnya masih banyak kita temui kelompok-kelompok yang memainkan kesenian ini. akan tetapi kesenian ini tidak terlepas dari para aulia (wali songo) dalam menyebarkan agama islam di Indonesia.
Sunan Gunung Jati Misalnya, dalam semasa hidupnya Sunan Gunung Jati menyebarkan agama Islam di bantu oleh murid muridnya paa tahun 1450-1500 M, disaat sebagian besar penduduk masih beragama Hindu.
Konon seni rudat di Banten sudah ada sejak abad XVI yang pada sast itu Banten di Pimpin Oleh Sultan Ageng Tirtayasa yang kemudian berkembang di pesantren-pesantren yang isinya merupakan nyanyian yang mengagungkan dan memuji kebesaran Allah SWT yang bertujuan untuk memperkuat iman terhadap agama islam.
permainan kesenian rudat biasanya dimainkan untuk mengiringi suatu pesta/perayaan keagamaan seperti Maulid Nabi Muhammad SAW, Isra Mi'raj, Sunatan/Khitanan, mengiring pengantin. seni rudat merupakan seni gerak dan vokal yang diiringi dengan tabuhan dari waditra sejenis terebang.
tidak ada batasan yang untuk jumlah pemain rudat namun biasanya dimainkan oleh beberapa regu yaitu, penari, penabuh waditra/terebang + vokalis.
rudat berasal dari kata "raudah" yang berarti Taman Nabi yg terletak di masjid Nabawi. ada juga yang mengatakan kata rudat bisa di lihat dari bahasa arab yaitu "rudatun" yang artinya taman bunga. terlepas dari pengertian yang mereka berikan tentang Taman, rudat merupakan kesenian yang terdiri dari beberapa regu yang memainkannya yaitu penari, penabuh waditra, dan vokalis.
pada saat ini kita sudah tidak begitu banyak melihat kesenian ini dimainkan khususnya di Banten, dan kita juga jarang melihat bahkan hampir tidak ada kelompok-kelompok kesenian ini yang memiliki jadwal latihan tetap, kebanyakan dari mereka berlatih hanya ketika mereka mendapat undangan untuk pentas.
sedih sekali ketika saya melihat di salah satu kampung yang terletak di Daerah Bojonegara Kab. Serang ketika perayaan Maulid Nabi Muhammad SAW 1431 H pada saat peng-arak-arakan Panjang Maulid diiringi oleh tabuhan Drum Band. Meriah ? Betul, akan tetapi secara tidak langsung mereka hendak menghilangkan seni budaya Islam yang telah ada.
Bersambung...